728x90 AdSpace

Latest News
Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 23 Agustus 2015

akad qardh

Akad Qardh dalam Fikih Islam
I.                   Pendahuluan
Qardh atau utang-piutang merupakan salah satu akad yang telah lama dipraktekkan oleh manusia. Perbedaan kemampuan secara materil membuat utang-piutang menjadi sangat niscaya dalam kehidupan. Selain, karena kebutuhan manusia yang bertingkat-tingkat dan berbeda antara satu dan lainnya.
Salah satu karakteristik yang membedakan antara syariat Islam dengan yang selainnya adalah bahwa ia berdiri di atas pondasi moderatisme yang sangat memperhatikan maslahat antara ke dua belah pihak yang menjadi pelaku akad; muqridh dan muqtaridh, tanpa pandang bulu. Maka, hak-hak kedua pelaku akad diupayakan untuk dijaga dengan sangat baik, agar baik peminjam maupun pemberi pinjaman tidak merasa terzalimi, sekaligus memotivasi umat untuk menghidupkan ruh ta'awun dalam kehidupan bermasyarakat.
Makalah sederhana ini akan mengemukakan konsep akad qardh dalam Islam sekaligus prakteknya dalam perbankan syariah.
II.                Pembahasan    
A.    Akad qardh dalam fikih klasik
1)       Definisi qardh
Qardh secara bahasa berarti pemotongan (al-qath'u).[5] Qardh biasa juga disebut salaf. Harta yang diberikan kepada muqtaridh (penerima utang) disebut qardh karena ia adalah sebagian (qith'ah) dari harta muqridh (pemberi utang).[6]
Secara istilah, para fukaha mendefinisikan qardh dengan pemberian harta (barang mitsli[7]) oleh muqridh kepada muqtaridh yang diambil kegunaan dan manfaatnya dengan menghabiskannya, agar kemudian dapat dikembalikan persis seperti yang diterima.[8]
Akad qardh merupakan akad kepemilikan, sehingga barang yang dipinjam/diutangkan berpindah status kepemilikannya dari muqridh ke muqhtaridh saat telah diserahterimakan. Barang tersebut berada dalam tanggungannya secara mitsli dan bukan zatnya, artinya saat masa pengembalian, muqtaridh wajib mengembalikan yang serupa, bukan barang yang sama.
2)      Perbedaan qardh dengan istilah-istilah lain[9]
a.       Perbedaan qardh dan dain
Menurut Abu Hilal al-Askari perbedaan antara keduanya adalah bahwa qardh lebih sering digunakan pada 'ain (barang) dan uang kertas, maka harta yang diutangi oleh muqtarid adalah dain sampai dibayar olehnya. Dain lebih umum dari qardh, setiap qardh adalah dain, tapi bukanlah setiap dain adalah qardh. Misalnya, harga yang disepakati pada riba nasâ', hai itu disebut dengan dain bukan qardh
Pengembalian pada qardh harus sesuai (bil mitsli) dengan apa yang telah diterima oleh muqtaridh, sedangkan pada dain tidak seperti itu. Dain juga dapat disyaratkan di dalamnya masa pembayaran (takjil), hal ini tidak berlaku dalam qardh.
Sedangkan Yusuf Kamal, salah satu ekonom muslim kontemporer menyatakan bahwa dain lebih identik kepada utang yang muncul dari akad jual beli (bai' bil ajal), sedangkan qardh dari awal memang akad sosial (tabarru').
b.      Qardh, âriyah dan ijarah
Ȃriyah adalah akad peminjaman, memberikan hak manfaat atas suatu barang kepada orang lain. Sedangkan qardh adalah memberikan hak milik sementara atas sebagian harta. Dalam peminjaman, si peminjam harus mengembalikan barang kepada pemiliknya secara utuh, sedangkan dalam qardh sang muqridh akan mengembalikan uang atau barang sesuai dengan saat diterima olehnya (almitsli). Ibnu Abidin, seorang ulama dari mazhab Hanafi menyebut qardh sebagai âriyah ibtidân hattâ shahha bilafzhihâ mu'âwadhah intihâan.
Sedangkan ijarah pada hakikatnya adalah âriyah, bedanya dalam ijarah si penyewa akan memberikan upah atas manfaat yang telah didapatkan dari barang pihak yang menyewakan. Dalam ijarah penyewa tidak menjamin keutuhan barang yang ia sewa, kecuali jika barang itu rusak karena keteledoran atau taqshir dan kesengajaan atau ta'addi saat pemakaian.
c.       Qardh dan wadiah
Dalam wadiah tidak ada pengalihan atas barang seperti dalam qardh. Seorang mûda' tidak boleh mengambil manfaat dari barang tersebut, ia hanya berkewajiban menjaganya. Akad wadiah akan berubah menjadi qardh saat pihak mûda' mengambil manfaat dari barang tersebut, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Zubair bin Awwam Ra. Dalam wadiah, seorang mûda' boleh mendapatkan upah atas penitipan barang, sedangkan hal itu tidak diperbolehkan dalam qardh.
d.      Qardh dan jual beli
Jual beli adalah pertukaran antara barang dan uang atau lainnya. Dalam akad jual beli (kredit maupun non-kredit), pengalihan hak barang terjadi secara final, sedangkan dalam qardh hanyalah sementara. Jual beli juga akan mendatangkan keuntungan, sedangkan qardh pada hakikatnya didasari oleh spirit tolong menolong. Dengan alasan ini, Rafiq Yunus al-Misri mengategorikan qardh dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak mendapatkan upah atau balasan dalam Islam.
3)      Landasan hukum qardh
a.       Alquran
Allah Swt. berfirman:
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ     
Artinya: "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (QS. Al-Baqarah [2]: 245)
b.      Hadis
Rasulullah Saw. bersabda:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً»
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Ra. bahwa Nabi Saw. bersabda: ”Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.”(HR. Ibnu Majah)
c.       Ijmak
Umat muslimin sepakat atas kebolehannya, demi kemashlahatan manusia dan karena di dalamnya terdapat tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.[10]
4)      Rukun dan syarat qardh[11]
Menurut Hanafiah rukun qardh adalah ijab dan kabul. Sedangkan menurut Jumhur fukaha rukun qardh adalah:
a.       Ȃqid, yaitu muqridh (yang meminjami) dan muqtaridh (yang meminjam). Qardh adalah akad atas harta, oleh karena itu disyaratkan bagi yang dibolehkan melakukan tasarruf  atau transaksi. Baik muqridh maupun muqhtaridh harus memenuhi syarat, diantaranya: baligh, berakal, bijaksana, mukhtar (tanpa paksaan), maka tidak sah bagi bayi, orang gila, orang bodoh atau tidak berakal, orang yang mahjur ‘alaih, orang yang dipaksa, karean mereka semua tidak termasuk orang yang berkecakapan dalam bertasharruf.
b.      Ma’qûd ‘alaih, yaitu uang dan barang.
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, yang menjadi objek akad dalam qardh sama dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makȋlat) dan ditimbang (mauzûnât),seperti emas dan perak dan makanan, maupun qȋmȋyât (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan dan barang yang dihitung. Sedangkan yang tidak boleh dijadikan objek dalam akad salam seperti permata dan sejenisnya, maka tidak sah juga untuk dijadikan objek dalam akad qardh. Ulama Hanafiah mengemukakan bahwa ma’qûd ‘alaih (harta) hukumnya sah dalam mâl mitsli,seperti barang yang ditaksir, barang yang ditimbang, barang yang dihitung, dihitung dengan meteran seperti kain. Barang-barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya di pasaran tidak boleh dijadikan objek qardh, seperti hewan, karena sulit atau tidak memungkinkan pengembaliannya.
c.       Shȋghah; ijab dan Kabul
Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta, oleh karena itu akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan kabul, sama seperti lafaz jual beli dan hibah. Shȋghah ijab dengan lafaz qardh atau salaf, karena syari’at membolehkan keduanya atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan, contohnya: ”Saya milikkan kepadamu barang ini,dengan ketentuan anda harus mengembalikan pada saya penggantinya”.
5)      Hukum qardh[12]
a.       Dari sisi muqridh (pemberi pinjaman) hukumnya ialah mandub
b.      Dari sisi muqtaridh (penerima pinjaman) hukumnya ialah mubah
6)      Hukuman penunda pembayaran utang (mathlul ghani)
Mathlul ghani adalah menunda-nunda pembayaran utang bagi yang yang telah mampu membayarnya. Tindakan ini adalah sebuah kedzaliman dan diharamkan.
Dari Abu Hurairah Ra.berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلمٌ
Artinya : "Mathlul ghani (orang kaya yang menunda-nunda pembayaran hutang) adalah kezhaliman." (HR. Muttafaq ‘Alaih)
7)      Hukum kesepakatan tempo pembayaran utang
Ulama fikih berbeda pendapat mengenai pensyaratan yang ditetapkan dalam pelunasan tempo :
a.       Jumhur Ulama yaitu Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
Bahwasanya tidak diharuskan adanya pensyaratan tempo pembayaran dalam pelunasan. Akan tetapi apabila syarat tempo pembayaran ditetapkan ketika terjadinya akad peminjaman, maka seseorang yang memberi pinjaman berhak meminta pembayaran meskipun sebelum jatuh tempo. Hal ini disebabkan syarat ketetapan waktu pembayaran dalam akad qardh adalah batil. Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan dalam perkataannya, apabila terjadi syarat ketetapan tempo pembayaran maka si peminjam sebaiknya memenuhi perjanjian tempo yang telah ditetapkan.

b.      Ulama Malikiyah, Imam Laits bin Sa’ad, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim.
Disyaratkannya tempo pembayaran ketika terjadinya akad hukumnya adalah sah. Apabila telah ditetapkan syarat tempo pembayaran ketika akad peminjaman, maka si peminjam tidak diharuskan mengembalikan pinjamannya sebelum jatuh tempo.
8)      Perubahan nilai tukar dan pelunasan utang
Perubahan nilai tukar atau inflasi adalah kemerosotan nilai uang karena banyaknya dan cepatnya uang beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang yang disebabkan konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang.[13]
Para Ulama berbeda pendapat mengenai perubahan nilai alat tukar pada uang kertas dan pengaruh pada pembayaran utang kepada lima pendapat, yaitu :
a)      Pendapat pertama : Dr. Muhammad Mudhidiin, Dr. Muhammad Asyqar, Dr. Muhammad Sholeh Farfur dan Dr. ‘Abdul Jabbar
Pendapat ini mengatakan bahwa pembayaran utang sesuai dengan nilai dari emas dan perak pada saat akad berlangsung.

b)      Pendapat Kedua : Dr. Qardhawi, Dr. ‘Ali Salus dan Dr. Hisamuddin
Pengembalian utang wajib dilunasi sesuai dengan jumlah peminjaman pada saat akad, tidak berdasarkan nilai harga dari emas dan perak.

c)      Pendapat Ketiga : Pendapat ini terbagi menjadi dua keadaan, yaitu :
·         Si peminjam melunasi utangnya sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan dengan orang yang telah memberi pinjaman.
Jika terjadi transaksi peminjaman dan ditetapkan perjanjian pelunasan peminjaman ketika akad, maka si peminjam harus mengembalikanannya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Maka dalam hal ini perubahan inflasi tidak berpengaruh dalam pelunasan utang, karena pembayaran utang terjadi sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan pada saat akad peminjaman.

·         Tidak menepati perjanjian pada saat pelunasan.
Apabila si peminjam tidak menepati perjanjian pada waktu yang telah disepakati sebelumnya, maka dalam hal ini si pemberi pinjaman harus melihat dalam dua hal. Apabila si peminjam tidak menepati janji dikarenakan adanya uzur, maka si pemberi pinjaman sebaiknya memberikan tenggang waktu dan keringanan, Akan tetapi apabila si peminjam secara sengaja mengundur waktu pembayaran padahal dia mampu untuk membayarnya, maka si pemberi pinjaman dibolehkan untuk meminta pelunasan pinjaman tersebut.

d)     Pendapat Keempat : Dr. Muhammad Sulaiman Al ‘Ashqar, Dr. Muhammad Usman Syabir
Pendapat ini mengatakan bahwa apabila seseorang yang meminjam telah melunasi sebagian hutangnya, namun sebagian lagi belum terlunasi setelah jatuh tempo, maka ditetapkan tambahan dalam pelunasan sebagian hutangnya yang belum terbayar. Hal ini disebabkan terlambatnya pembayaran dari waktu yang telah ditetapkan sehingga mengurangi hak orang yang memberikan pinjaman.

e)      Pendapat Kelima : Syekh Mustafa Rizqa, Dr. Fathi Addarin dan Syekh Khalil Muhiddin
Membagi rata kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak, yaitu antara si peminjam dan pemberi pinjaman.[14]
9)      Waktu dan tempat pelunasan qardh
Ulama berbeda pendapat didalam waktu pelunasan hutang, diantaranya terdapat dua pendapat :
a.       Menurut Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
Bahwa waktu pelunasan hutang  ditetapkan oleh muqtaridh (peminjam). Oleh karena itu muqtaridh wajib melunasinya sesuai dengan waktu yang telah ia tetapkan pembayarannya. Dan apabila peminjaman utang dilakukan secara terpisah-pisah, maka pelunasan tetap harus dilakukan secara keseluruhan.

b.      Menurut Ulama Malikiyah yaitu perkataaan Ibnu Qayyim
Pelunasan pinjaman tidak dilakukan pada waktu yang ditetapkan dalam tanggungan muqtaridh. Jika terjadi peminjaman secara mutlak, tanpa adanya syarat pelunasan dalam jangka waktu cepat, maka  muqtaridh tidak diharuskan langsung melunasi utangnya ketika muqridh (pemberi pinjaman) meminta pelunasan utang tersebut. Dalam hal ini muqridh memberikan keringanan dalam jangka waktu pelunasan sesuai dengan ketetapan jangka waktu pada umumnya.
Sedangkan dalam permasalahan tempat pelunasan pinjaman, para ulama fikih tidak berbeda pendapat bahwa qardh wajib dilunasi pada negara tempat pelaksanan transaksi ketika akad peminjaman. Dan ketika muqridh (pemberi pinjaman) meminta muqtaridh (peminjam) untuk melunasi pinjamannya, maka si peminjam harus dengan segera melunasinya di tempat (negara ) akad pemberian pinjaman.
Akan tetapi apabila muqtaridh melunasi utangnya di negara yang berbeda dengan tempat akad peminjaman, atau apabila muqridh meminta pelunasan utang diserahkan di negara yang berbeda dengan akad peminjaman maka kedua keadaan tersebut dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama fikih dengan syarat tanpa adanya dhoror, beban dan kesulitan didalam pelunasannya. Seperti di dalam pelunasan pinjaman dengan mata uang dinar dan dirham.
Namun apabila didapati beban dan kesulitan dalam pelunasan pinjaman di negara yang berbeda  maka para ulama fikih bersepakat bahwa hal ini tidak dibolehkan, dikarenakan akan memberatkan. Menurut pendapat Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah hal ini dibolehkan dalam bentuk pengecualian apabila muqridh telah ridha dengan pelunasan tersebut. [15]
10)  Suftajah
Suftajah  adalah transaksi keuangan berupa pemberian pinjaman seseorang kepada orang lain dalam suatu negara disertai dengan kesepakatan pelunasan utang yang dilakukan di negara yang berbeda.
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum pelaksanaan suftajah :
a.       Menurut Ulama Hanafiyah : Hukum pelaksanaannya adalah karahah tahrimiyah, yaitu makruh yang sangat diharamkan. Hal ini disebabkan adanya syarat ketika akad berlangsung.
b.      Menurut Ulama Syafi’iyah : Pelaksanaan Suftajah ini dilarang disebabkan adanya pengambilan manfaat berupa keuntungan dari pihak pemberi pinjaman terhadap orang yang diberikan pinjaman.
c.       Menurut Ulama Malikiyah : Suftajah dilarang pelaksanannya dikarenakan terdapat unsur pengambilan manfaat. Akan tetapi dibolehkan dalam hal pengecualian apabila dalam keadaan darurat.
d.      Menurut Ulama Hanabilah : Pelaksanaan suftajah dibolehkan apabila terjadi tanpa adanya pertemuan antara si pemberi pinjaman dan peminjam. Dan pendapat ini adalah pendapat yang paling rajih.[16]
Akan tetapi apabila pelunasan hutang dilakukan dengan adanya pertemuan muqridh dan muqtaridh di negara yang berbeda dengan tempat peminjaman dan nilai mata uang antara kedua negara tersebut berbeda, maka Ulama Syafi’iyyah, Hanabilah dan Riwayah Hanafiyyah berpendapat bahwa peminjam utang harus menyesuaikan dengan nilai mata uang tempat dilakukannya akad peminjaman.[17]
 Ibnu Timiyyah, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Qudamah menambahkan bahwa hukum pelaksanaan suftajah dibolehkan secara mutlak, karena suatu manfaat tidak diambil semata-mata dari seseorang yang meminjam akan tetapi pengambilan manfaat ini diambil dari keduanya.[18]
11)  Hukum riba qardh
Sebelum membahas riba qardh, ada baiknya memulai pembahasan dengan riba nasiah karena riba qardh merupakan cabang dari riba nasiah.
Riba nasiah ialah riba (tambahan) yang terjadi akibat pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong ke dalam komoditi riba, baik sejenis atau berlainan jenis dengan menunda peyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya.
Riba jenis ini dapat terjadi pada akad perniagaan, sebagaimana dapat juga terjadi pada akad utang-piutang. Riba nasiah pada utang-piutang inilah yang disebut dengan riba jahiliah atau riba duyun, yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw. dalam khutbah beliau di padang arafah saat menunaikan haji wada'.
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ:...وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّه
Dari Ja'far bin Muhammad meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda : "….dan riba jahiliyah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapuskan ialah riba kami (kabilah kami), yaitu riba Abbas bin Abdul Muththalib. Sesungguhnya ribanya dihapuskan semua." (HR. Muslim)
Al-Mujahid ra. berkata: "Dahulu orang-orang jahiliah bila ada orang yang berutang kepada seseorang (dan telah jatuh tempo dan belum mampu melunasinya), ia berkata "engkau akan kuberi demikian dan demikian, dengan syarat engkau menunda tagihanmu, maka pemberi piutang pun menunda tagihannya."
Hukum riba dengan segala jenisnya termasuk riba qardh adalah haram. Keharamannya termaktub jelas di dalam Alquran dan Sunah Rasulullah Saw. di antaranya:
Firman Allah Swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
"Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat, (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 278-279)
Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ»، وَقَالَ: «هُمْ سَوَاءٌ»
Dari Jabir Ra. berkata: "Rasulullah telah melaknati pemakan riba, orang yang memberikan/membayar riba, penulisnya, dan dua orang saksinya." Dan beliau juga bersabda: "Mereka itu sama dalam hal dosanya." (HR. Muslim)
12)  Kaidah setiap qard yang mendatangkan manfaat adalah riba
Pada dasarnya, utang-piutang merupakan akad yang bertujuan untuk memberikan bantuan dan meringankan kesusahan orang lain. Dengan tujuan mulia ini, maka syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang. Namun, perlu benar-benar dipahami bahwa kemanfaatan yang diharamkan adalah jika akad piutang tersebut disyaratkan keuntungannya di awal akad. Karena seluruh fukaha membolehkan piutang yang mendatangkan manfaat bila tidak disyaratkan di dalam akad.  Sedang yang berhutang membayarnya atas dasar berbuat baik. Hal inilah yang pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Beliau mengembalikan pinjaman dengan melebihkannya.[19]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: اسْتَقْرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنًّا، فَأَعْطَى سِنًّا فَوْقَهُ، وَقَالَ: «خِيَارُكُمْ مَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً»
Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah Saw. berutang seekor anak unta pada seseorang, lalu beliau melunasinya dengan memberi unta yang berumur lebih (di atas unta yang dipinjamnya). Beliau lalu bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik saat melunasi utangnya." (HR. Bukhari)[20]
Imam nawawi berkata: "Pada hadis ini terdapat pelajaran bahwa orang yang berutang disunahkan untuk mambayar utang dengan yang lebih baik dari piutang yang sebenarnya ia tanggung. Perbuatan ini termasuk hal yang disunahkan dan akhlak terpuji serta tidak termasuk dalam piutang yang mendatangkan kemanfaatan yang terlarang. Menurut mazhab kita (mazhab Syafii) disunahkan untuk memberikan tambahan pada saat pelunasan melebihi jumlah piutang yang sebenarnya. Sebagaimana diperbolehkan pula bagi pemberi piutang untuk memerima tambahan tersebut, baik tambahan berupa criteria yang lebih baik, atau tambahan dalam jumlah, misalnya mengutangi sepuluh, lalu pengutang memberinya sebelas dinar."[21]
Adapun setiap tambahan yang dipersyaratkan dari suatu piutang, baik dipersyaratkan secara tertulis sebagai persyaratan atau telah menjadi tradisi pelaku akad,[22]maka semuanya dikategorikan riba.
Oleh karena itu, tatkala praktik riba telah merajalela di negeri Irak, maka sahabat Abdullah bin Salam Ra. berpesan kepada Abu Burdah untuk tidak menerima hadiah yang diberikan oleh pengutang.
B.     Akad qardh dalam perbankan
1.      Praktek-praktek qardh dalam bank syariah
Qardh dalam teknis perbankan adalah akad pemberian pinjaman dari bank kepada nasabah yang dipergunakan untuk kebutuhan mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan bersama) dan pembayarannya bisa dilakukan secara angsuran atau sekaligus.
Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu
a.       Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
b.      Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dengan nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
c.       Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, yang menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah atau bagi hasil.[23]
d.      Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dengan bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
Adapun penyimpanan uang oleh nasabah pada bank syariah dalam bentuk giro, lalu bank menggunakan  dan menginvestasikannya atas seizin nasabah maka yang berlaku dalam akad ini adalah qardh. Karena bank sebagai wadȋ merupakan muqhtaridh dan nasabah sebagai muwaddi' merupakan muqhridh.
Ketentuan qardh
a)      Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
b)      Nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
c)      Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
d)     LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah jika dipandang perlu.
e)      Nasabah dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
f)       Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memasyikan ketidakmampuannya, LKS dapat: (a) memperpanjangn jangka waktu pengembalian, atau (b) menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Sanksi
Jika nasabah pembiayaan dengan akad qardh tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah dapat berupa—dan tidak terbatas pada—penjualan barang jaminan. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.
Sumber dana
Dana qardh dapat bersumber dari:
a.       Bagian modal LKS
b.      Keuntungan LKS yang disisihkan
c.       Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaknya kepada LKS, yaitu dana yang diperoleh dari muzakki atau kaum dermawan yang berbentuk zakat, infak, sedekah dan sebagainya, digunakan untuk bantuan yang bersifat sosial (seperti mendapat musibah dan sejenisnya), atau untuk membantu kaum duafa.
Tujuan akad qardh
a)      Membiayai usaha produktif dari kaum duafa
b)      Pinjaman untuk menutup utang kepada rentenir
c)      Pinjaman untuk biaya sewa rumah
d)     Pinjaman untuk memenuhi kebutuhan mendesak karena tertimpa musibah
2.      Manfaat qardh bagi LKS[24]
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pengaplikasian qardh dalam lembaga keungan syariah atau perbankan syariah antara lain:
Pertama, pencitraan masyarakat terhadap performa LKS yang tidak hanya mengejar keuntungan semata tetapi juga sosial yaitu dengan memberikan bantuan dalam peningkatan perekonomian untuk kaum duafa. Ini juga menjadi ciri pembeda antara lembaga keuangan syariah dan keuangan konvensional.
Kedua, LKS dari awal bisa membina calon-calon nasabah potensial yang bisa dibantu melalui produk pembiayaan komersil yang dimiliki, karena telah teruji di saat nasabah tersebut menikmati produk qardh hasan. Umumnya nasabah yang loyal akan memperlihatkan kolektibiliti yang baik sehingga LKS bisa membantu dari jumlah awal yang kecil (qardh hasan) sampai ke jumlah yang besar (pembiayaan komersil).
Ketiga, jika pengelolaan dana qardh tersebut dilakukan dengan baik, hal ini akan mendorong keinginan dari muzakki atau munfiq lainnya untuk mempercayakan zakatnya, atau infaqnya untuk dikelola oleh LKS melalui Baitul Malnya.
Keempat, secara tidak langsung, promosi terhadap produk-produk LKS akan terbantu melalui nasabah qardhul hasan yang berkait dengan aspek sosial LKS.
Jadi jelas dari keempat manfaat diatas, produk ini bisa menjadi produk yang istimewa bila diaplikasikan dalam LKS sehingga citra ekonomi syariah menjadi berpihak bagi umat yang membutuhkan pemberdayaan secara modal. Apalagi bagi BMT yang notabene lembaga dakwah di bidang ekonomi syariah. Sisi maalnya (sosial) pun harus berkembang dan menonjol. Dengan begitu, ekonomi syariah sebagai sistem penyeimbang, adil dan mensejahterakan umat betul-betul bisa diwujudkan.
3.      Obligasi
Obligasi adalah dokumen bermaterai yang menyatakan bahwa penerbitnya akan membayar kembali utang pokoknya pada waktu tertentu dan secara berkala akan membayar kupon kepada pemegang obligasi; biasanya, obligasi diikat dengan suatu jaminan yang dapat dijual untuk melunasi klaim jika emiten[25] gagal membayar kupon dan pokok pada saat jatuh tempo. Sedang obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee seta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.[26]
4.      Qardh hasan
Dalam buku pintar ekonomi syariah disebutkan bahwa qardh hasan adalah:
a.       Pinjaman dengan kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apapun.
b.      Suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan pihak yang menerima pinjaman tidak wajib mengembalikan dana apabila terjadi force majeure.[27]
Sedang qardh hasan mengacu pada penafsiran surat Al-Baqarah ayat 245[28] secara umum bermakna menginfakkan harta di jalan Allah baik dalam jihad, berperang di atas kebenaran, maupun sedekah yang ditujukan kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan. Ada juga yang mengatakan bahwa qardh hasan secara mutlak berarti amal salih. Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa qardh hasan meliputi qardh syar'i yang terbebas dari riba yang merupakan bentuk lain dari sedekah. Sebagaimana qardh hasan mencakup berbagai bentuk sedekah, nafkah wajib dan mustahab.  
Maksud dari kata hasan di sini adalah pemberian pinjaman yang dilakukan oleh seorang muslim atau infak yang dikeluarkan dengan penuh kerelaan tanpa adanya mann ( mengiringi apa yang dinafkahkan dengan menyebut-nyebut pemberiannya) dan adza (menyakiti perasaan si penerima).
Maka atas dasar inilah, qardh hasan tidak terbatas maknanya seperti yang diduga oleh kebanyakan orang sebagai sebuah pinjaman yang terlepas dari riba, melainkan secara mendasar mencakup infak dan sedekah di jalan Allah. Apabila ia bermakna pinjaman yang terbebas dari riba, maka memaknainya sebagai infak adalah lebih utama.[29]

5.      Produk talangan haji perbankan syariah
Pembiayaan pengurusan dana talangan haji perbankan syariah merupakan pembiayaan dalam bentuk konsumtif[30] yang ditujukan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan biaya setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang ditentukan oleh Kementrian Agama, untuk mendapatkan nomor seat porsi haji dengan menggunakan akad qardh. Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada nasabah/calon nasabah pembiayaan dalam memperoleh fasilitas pembiayaan haji dengan persyaratan mudah dan proses lebih cepat.[31]
Landasan syariah produk
1.      Dalam pengurusan haji bagi nasabah, bank dapat memperoleh ujrah (imbalan jasa) dengan menggunakan prinsip ijarah sesuai fatwa DSN-MUI Nomor 9/DSN-MUI/IV/2000
2.      Pembiayaan haji menggunakan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang pembiayaan pengurusan haji Lembaga Keuangan Syariah.
Alur transaksi pembiayaan haji
1.      Nasabah mengajukan permohonan pengurusan perolehan porsi seat haji.
2.      Nasabah mengajukan permohonan untuk keperluan dana setoran awal BPIH.
3.      Bank melakukan analisa atas permohonan pembiayaan haji.
4.      Bila telah disetujui, dilakukan penandatanganan kesepakatan akad. (ijarah pengurusan perolehan seat haji dan akad pembiayaan qardh).
5.      Bank melakukan pengurusan perolehan porsi seat haji dengan melakukan pendaftaran melalui SISKOHAT (sistem komputerisasi haji terpadu).
6.      Nasabah melakukan pembayaran atas ujrah yang telah disepakati dan pelunasan qardh baik secara angsuran maupun sekaligus sesuai kesepakatan. 
Istithâ'ah—sebagai syarat wajib haji—dalam syariat Islam
Jika seseorang secara financial memiliki kepastian untuk membayar talangan di masa yang akan datang, misalnya karena gaji yang cukup, atau penghasilan lain yang stabil, dan sudah barang tentu masuk dalam perhitungan bank pemberi talangan, maka baginya dapat dikategorikan sebagai mampu untuk berhaji. Tetapi jika ia tidak memiliki kepastian melunasinya dan tentu bank tidak akan memberikan talangan pada nasabah yang demikian itu, ia belum dikategorikan sebagai mampu berhaji.
Persoalan lain yang muncul adalah apakah seseorang disarankan untuk mencari talangan agar segera berhaji, jawabannya secara hukum tidak disarankan karena pada saat itu sebenarnya ia belum mampu. Tetapi secara adab dan ketakwaan bisa saja dengan catatan ia memiliki kecukupan untuk melunasinya dari gaji.[32]
Ketetapan  hukum tentang dana talangan haji dan istithâ'ah untuk menunaikan haji, hasil ijtima' ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012[33]:
1.      Hukum pembiayaan pengurusan haji adalah boleh (mubah/jaiz) dengan syarat mengikuti /taat pada dhawabit yang terdapat dalam fatwa
2.      Upaya untuk mendapatkan porsi haji dengan cara memperoleh dana talangan haji dari LKS adalah boleh, karena hal itu merupakan usaha dalam rangka menunaikan haji. Namun demikian, kaum muslimin tidak semestinya memaksakan diri untuk melaksanakn ibadah haji sebelum benar-benar mampu dan tidak dianjurkan untuk memperoleh dana talangan haji terutama dalam kondisi antrian haji yang sangat panjang seperti saat ini.
3.      Pihak pemberi dana talangan haji wajib melakukan seleksi dan memilih nasabah penerima dana tersebut dari sisi kemampuan financial, standar penghasilan, persetujuan suami/istri serta tenor pembiayaan.
4.       Pemerintah c/q Bank Indonesia boleh memberlakukan kebijakan pembatasan kepada perbankan dalam menyalurkan pembiayaan dana talangan haji bila diperlukan.




[1] Makalah ini dipresentasikan dalam kajian reguler PAKEIS level III B, pada hari Kamis, 20 Maret 2014, di kantor ICMI
[2] Mahasiswi tingkat IV, Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, Jurusan Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
[3] Mahasiswi tingkat III, Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, Jurusan Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
[4] Mahasiswi tingkat II, Fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, Jurusan Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
[5] Ibnu Manzur, Lisân al-Arab, Dar al-Hadits, Kairo, cet. I, jilid 7, 2003, hal. 314
[6] Wahbah Zuhaili, Mausû’ah al-Fiqh al-Islâmȋ wa al-Qadhâya al-Mu’âsirah, Dar al-Fikr, Damaskus, cet. III, jilid 4, hal. 508
[7] Harta mitsli ialah harta yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi. Harta mitsli terbagi atas empat bagian, yaitu harta yang ditakar seperti gandum, harta yang ditimbang seperti kapas dan besi, harta yang dihitung seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter seperti bahan seperti bahan pakaian, dan papan.
[8]  Rafiq Yunus al-Misri, Al-Jâmi' fȋ Ushûl al-Ribâ, Dar al-Qalam, Damaskus, cet. II, 2001, hal. 214
[9]  Makalah kajian PAKEIS level III 'Akad Qardh (utang piutang) dalam Syariat Islam; Teori dan Praktek',  tahun 2012
[10] Wahbah Zuhaili, Mu’âmalah al-Mâliyah al-Mu’âshirah, Dar al-Fikr, Damaskus, hal. 80
[11]  
[12]  
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi diakses pada hari Rabu, 19 Maret 2014
[14]  Dr. Amal Yasin, Diktat kuliah mahasisiwi tk. III jurusan Syariah Islamiyah Universitas al-Azhar 'Muhâdhoroh fȋ Qadhâyâ Fiqhiyyah Mu’âshirah'
[15]  Wazarah al-Auqhaf wa Suun Islamiyah, Musû’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, Kuwait, cet. I, jilid 33, 1995, hal 126
[16]  Wahbah Zuhaili, op. cit., hal. 518
[17]  Wazarah al-Auqhaf wa Suun Islamiyah, hal. 126
[18]  Wahbah Zuhaili, op. cit.,, hal. 518
[19] Yusuf Qaradhawi, Fawâid al-Bunûk Hiya Ribâ al-Harâm, Dar ash-Shahwah, Kairo, cet. III, 1994, hal. 44
[20] Hadis ini dimuat dalam kitab Shahih Bukhari, bab Husnu al-Qadhâ dan dalam kitab Shahih Muslim, bab Man Istaslafa syaian faqadhâ khairan minhu  
[21] Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Khair, Beirut, cet. I, 1994, hal. 215
[22] Persyaratan yang tidak dituangkan secara lisan atau tulisan, akan tetapi persyaratan itu telah diketahui dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Para ulama menuangkan hukum persyaratan ini dalam suatu kaidah المَعرُوفُ عُرفًا كَالمَشرُوطِ شَرطًا (sesuatu yang telah diketahui secara bersama, bagaikan hal yang telah ditegaskan dalam persyaratan)
[23]  Qardh sebagai produk pembiayaan (permodalan)yang diperuntukkan bagai usaha super mikro yang tidak mempunyai modal, selain kemampuan berusaha  yang baik secara finansial tidak memberikan keuntungan bagi LKS. Praktek al-Qard  di LKS biasanya digunakan untuk keperluan yang mendesak yang sifatanya ta’awun (sosial). Baik untuk konsumtif maupun untuk produktif.
Sumber pendanaan Pembiayaan qardh dapat berasal dari beberapa kategori tergantung untuk apa dan siapa yang akan menerimanya. Jika qardh diperuntukkan bagi anggota atau nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Dana tersebut dapat diambilkan dari dana modal LKS. Tetapi, jika skema qardh yang diberikan untuk membantu usaha produktif yang dimiliki faqir miskin, atau usaha super Mikro maka sumber dana dapat diambilkan dari zakat, infaq dan wakaf.  
[24]  http://www.tamzis.com/content/view/264/44/ diakses pada hari Rabu, 19 Maret 2014
[25] Emiten adalah perusahaan yang memperoleh dana melalui pasar modal, baik dengan menerbitkan saham atau obligasi dan menjualnya secara umum kepada masyarakat. Perusahaan yang mencatat sahamnya dan diperdagangkan di bursa saham juga disebut emiten.
[26] Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet. I, 2010, hal. 559
[27]  Ahmad Ifham Sholihin, op. cit., hal. 675
[28]  `¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ  
Artinya: "siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan."
[29] Rafiq Yunus al-Misri
[30]  Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank syariah, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang membutuhkan pembiayaan. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua: pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produk perdagangan (modal kerja) maupun investasi. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang akan habis digunakan. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas dua hal: (a) kebutuhan primer, yaitu kebutuhan pokok baik berupa barang maupun jasa (b) kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan tambahan yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer
[31] http://tarjih.muhammadiyah.or.id/
Diakses pada tanggal 17 Maret 2014
[32] http://www.jurnalhaji.com/konsultasi-haji-umrah/hukum-dana-talangan-haji/
[33] http://muijabar.wordpress.com/

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

2 komentar:



  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    BalasHapus
  2. Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Tapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati

    BalasHapus

Item Reviewed: akad qardh Rating: 5 Reviewed By: muhammad